Friday, February 6, 2009

Hari Tanah Lembab Sedunia 4 Februari 2008


بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

(30:41)

41. telah nampak pelbagai kerosakan di darat dan di laut Dengan sebab apa Yang telah dilakukan oleh tangan manusia; kerana Allah hendak merasakan mereka sebahagian dari balasan perbuatan-perbuatan buruk Yang mereka telah lakukan, supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat). [Al Rum]

Betapa benar kata-kata Allah SWT dalam melihat krisis alam sekitar pada hari ini. Sayangnya tidak ramai antara muslim hari ini memandang berat krisis Alam Sekitar dan menjadikan ia sebagai agenda dakwah dan Islah.

Bersempena Hari Tanah Lembap sedunia; ingin lari dari krisis politik yang memualkan – mungkin elok sebagai satu perkongsian tentang satu amanah yang diabaikan oleh ramai muslimin.

Dipersembahkan bersama Fatin Safiah Kamarudin, di Seminar Serantau Wanita dan Perikanan, Hanoi, Vietnam anjuran SEA Fish for Justice (SEAFISH), 4 November 2008. Edisi English di susuli edisi Bahasa. Moga yang mahu memahami akan mengerti;

A story of a child and mangrove forest

Wave crashing the beaches,
Like rhythms of happiness chirping through the wind,
A boat landed,
A greet of smile, of a child and a wife,

Fish for a pot of rice,
Fish for a cloth on a body,
Fish for a smile and laughter,
Fish for a hope and a dream,

It was that day,
When I saw my sister in the mud,
Finding shells for her earrings,
While i was flinging from a root of tree,
Jumping from one to the others,
‘How weird’, I say, a root coming out from the mud,
Standing resilient and strong,
While I creep and climb,
Finding crabs and prawns,

‘How weird’, I say, root coming out of the soil,
Wet, sticky soil,

Much, much later,
Touching my hands on the blue blue ocean,
While father …Steering in the breath of dusk,
I saw my father, standing salient and strong,
Casting his eyes, on the green of the blue,
I told him, how weird the root is,
Coming out of the wet, sticky soil,

Father smile, looking deep into my eyes,
It is not just a root my son,
It is the root of the sea,
Let it never die,
Let it be strong and living,
Cause like trees, when the roots dies, so will the trees,
As when it dies, so will the sea,

And soon my son … so will my brothers and I,
You, and your sister,
And your sweet mother,
As we are only guardians of the sea,
And when the sea had gone,
So will ‘we’,


I didn’t know until much later,
Later, until the days father passed away,
What father really meant,
Until I saw, those farms coming in,
Bringing shrimps far more in numbers,
Than what the roots can provide,

But those shrimps, are not mine,
Are not my sisters’, are not my mothers’,
Nor it was own by brothers of my fathers,

So they say,
‘The new farms are happiness,
Are “development”
that we will never knows what it means,
are money, coming far far away out of the sea,
a place where you will never be,’

What I see, is a dying sea,
Tears not laughter, Blood not cheers,
A dying dream,
A dying me,

They have taken it away,
From my father,
from the sea, he fought so long for,

They have taken away,
Fish for a pot of rice,
Fish for a cloth on a body,
Fish for a smile and laughter,
Fish for a hope and a dream,

I may not be like my father,
Salience and strong,
But the roots of the sea,
I will never let you die…

4th November 2008
For my comrades and my brothers fisherman
Presented with Fatin Safiah Kamarudin during Women and Fisheries Conference, Hanoi, organised by SEA Fish for Justice (SEAFISH)

------------------------------------------------------------------------------

Cerita anak kecil di Hutan Bakau

Ombak menghempas pantai,
Seperti bayu berirama, dengan lagu-lagu kebahagiaan,
Mendarat sang perahu,
Bersama senyuman isteri dan anak,

Ikan untuk secupak beras,
Ikan untuk selembar kain menutup badan,
Ikan untuk sebuah senyuman dan tawa,
Ikan untuk sebuah harapan dan impian,

Suatu hari ketika itu,
Ketika aku melihat kakakku bermain dilumpur,
Mencari siput buat antingan,
Ketika aku bergayutan pada akar-akar pohonan,
Bergayutan dari satu ke satu,
Pelik pikirku, akar menjalar dari lumpur,
Berdiri teguh dan kukuh,
Tika aku terus menjulur dan memanjat,
Mencari sang ketam dan udang,

Pelik pikirku, akar menjulur keluar dari tanah,
Tanah yang becak, lembap,

Seberapa lama selepas itu,
Tika tanganku bermain air biru lautan,
Tika abah,
Memandu sampan membelah senja,
Ku lihat abah, berdiri teguh dan kukuh,
Memandang jauh, pada lingkaran hijau di gigi lautan,
Ku cerita padanya, betapa aneh akar-akar itu,
Keluar menjalar dari tanah yang becak basah,

Abah tersenyum, memandang dalam ke lubuk mataku,
Itu bukan hanya akar anakku,
Itu akar lautan,
Jangan kau biar ia mati,
Biar ia hidup dan tegar,
Kerna seperti pohonan,
bila akarnya mati, begitu jua pohonan,
Bila ia mati, begitu juga lautan,

Dan anakku sayang
… tika itu jua ajalkan menjemput, aku dan saudaraku,
Kamu dan kakakmu,
Dan ummi mu tersayang,
Kerana kita adalah pembela lautan,
Dan tika matinya lautan,
Begitu juga kita,
Aku tidak mengerti hingga aku dewasa,
Hingga tika abah sudah tiada,
Apa ertinya kata-kata abah,
Ketika kulihat didepan mata,
Kolam tambak menjajah tanah ibunda,
Membawa udang-udang ribuan jumlahnya,
Dari apa yang termampu keluar dari akar lautan,

Tapi udang-udang itu bukan milik kami,
Bukan milik kakakku, bukan milik ummi,
Bukan juga milik saudara abah,

Begitu kata mereka,
‘Kolam tambak ini kebahagiaan,
“Pembangunan”,
Yang kami takkan mengerti maksudnya,
Wang, yang datang dari seberang lautan,
Tempat yang tak bisaku jejaki’,

Apa yang ku lihat adalah lautan yang mati,
Air Mata bukan ketawa, darah bukan ceria,
Sebuah mimpi yang mati,
Aku yang mati,

Mereka telah mengambilnya,
Dari abah,
Dari lautan, yang sekian lama dia berjuang untuknya,

Mereka telah mencuri,
Ikan untuk secupak beras,
Ikan untuk selembar kain menutup badan,
Ikan untuk sebuah senyuman dan tawa,
Ikan untuk sebuah harapan dan impian,

Tak mungkin aku seperti abah,
Teguh, kukuh,
Tapi akar lautan,
Ku tak biar kau kemusnahan,

4 November 2008
Untuk sahabat seperjuangan dan saudaraku nelayan

No comments: